Rabu, 23 April 2014

ARAH KIBLAT DALAM PERSPEKTIF FIQH
Oleh: Muhammad Syaifuddin
A.    Definisi Kiblat
Secara harfiah, kata kiblat berasal dari bahasa arab قبلة, yaitu  salah satu bentuk derivasi dari kata kerja قبل, يقبل, قبلة  yang bermakna menghadap. Sedangkan secara istilah, kata kiblat memiliki beberapa definisi. Diantaranya:
Ø  Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat sebagai bangunan ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah.
Ø  Harun Nasution mengartikan kiblat sebagai arah untuk menghadap pada waktu shalat.
Ø  Departemen Agama Republik Indonesia mendefinisikan kiblat sebagai suatu arah tertentu bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya dalam melakukan shalat.
Ø  Slamet Hambali (Guru Besar Ilmu Falak di IAIN Walisongo) memberikan definisi arah kiblat yaitu arah menuju ka’bah (Makkah) lewat jalur terdekat yang mana setiap muslim dalam mengerjakan shalat harus menghadap ke arah tersebut.
Ø  Muhyiddin Khazin, mendefinisikan kiblat sebagai arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar (great cyrcle) yang melewati ke ka’bah (Makkah) dengan tempat kota yang bersangkutan.
Ø  Ahmad Izzuddin (Pakar Ilmu Falak di IAIN Walisongo) mendefinisikan arah kiblat yaitu menghadap ke arah ka’bah atau paling tidak Masjidil Haram dengan mempertimbangkan posisi arah dan posisi terdekat dihitung dari daerah yang kita kehendaki.

B.     Dasar Hukum Menghadap Kiblat
Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menegaskan tentang perintah menghadap ke arah kiblat, antara lain:
a.       QS. Al-Baqarah ayat 144   
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan

[96] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.

b.       QS. Al-Baqarah : 149
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ  
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”

c.        QS. Al-Baqarah : 150
Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”

Hadits
Dalam hadits pun juga diterangkan tentang perintah menghadap kiblat, antara lain adalah:
1.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
قال ابو هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلعم : استقبل القبلة و كبّر (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: rasulullah SAW bersabda: menghadaplah kiblat lalu takbir” (HR. Bukhari).

2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلعم : اذا قمت الى الصلاة فأسبغ الوضوء ثمّ استقبل القبلة فكبّر (رواه المسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., berkata bahwa Rasulullah bersabda: Bila kamu hendak shalat maka sempurnakanlah wudhu’ lalu menghadap kiblat kemudian bertakbirlah” (HR. Muslim)
Perkataan Ulama’
·         ابن رشد , بداية المجتهد , ص : 111
اتفق المسلمون على ان التوجه نحو البيت شرط من شروط الصلاة
Artinya:  “kaum muslimin telah sepakat atas menghadap kiblat, sebab termasuk dari syarat shalat”.
·         وهبة الزهيلى , الفقه الإسلامى و أدلتته , ص : 596
اتفق الفقهاء على ان استقبال القبلة شرط فى صحة الصلاة
Artinya: “ para fuqaha telah sepakat bahwasanya menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat”.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menghadap kiblat hukumnya wajib dan termasuk salah satu dari syarat sahnya shalat. Sehingga dalam hal ini, pengertian menghadap kiblat adalah menghadap ka’bah atau paling tidak masjidil haram.
C.    Pendapat Fuqaha tentang Menghadap Kiblat
Terkait masalah menghadap kiblat ketika shalat, para Ulama’ berbeda pendapat mengenai orang yang jauh dari ka’bah dan tidak mampu melihatnya.
1.      Menurut Imam Syafi’i dan Syia’ah Imamiyah “wajib menghadap ka’bah, baik bagi orang dekat maupun jauh”. Bila dapat mengetahui arah Ka’bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia harus menghadap ke arah tersebut. Apabila tidak, maka cukup dengan perkiraan saja.
2.      Sedangkan menurut Imam Hanafi, Maliki, dan Hambali dan sebagian ulama Syi’ah Imamiyah, arah kiblat adalah arah dimana letak Ka’bah berada, tidak harus tepat menghadap Ka’bah itu sendiri. Sehingga kiblat itu bisa termasuk masjidil haram dan bahkan Makkah.
Merujuk dari berbagai pendapat dan memahami dari konteks dasar-dasar hukum menghadap kiblat, maka paling tidak dapat dibagi menjadi dua ditinjau dari segi kuat tidaknya prasangka seseorang ketika menghadap kiblat, yaitu:
1.      Menghadap kiblat secara yakin (Qiblat bil yaqin)
Yaitu menghadap ke kiblat dengan penuh yakin wajib bagi orang-orang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka’bah. Ini disebut juga dengan menghadap “ ’Ain al-Ka’bah”.
2.      Menghadap kiblat dengan ijtihad (Qiblat bil ijtihad)
Yaitu ketika seseorang berada jauh dari Ka’bah, seperti berada di luar Masjidil Haram atau di luar Makkah sehingga ia tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, maka mereka wajib menghadap paling tidak ke arah Masjidil Haram dengan maksud menghadap ke arah Ka’bah. Ini disebut sebagai “ Jihatul Ka’bah”.



Hukum Menghadap Kiblat Secara Umum
Kiblat sebagai pusat tumpuan umat Islam dalam mengerjakan ibadah dalam konsep arah terdapat beberapa hukum yang berkaitan yang telah ditentukan secara syariat yaitu:
v  Hukum Wajib
Ketika shalat fardhu ataupun shalat sunat menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat
Ketika melakukan tawaf di Baitullah.
Ketika menguburkan jenazah maka harus diletakkan miring bahu kanan menyentuh liang lahat dan muka menghadap kiblat.
v  Hukum Sunat
Bagi yang ingin membaca Al-Quran, berdoa, berzikir, tidur  (bahu kanan dibawah) dan lain-lain yang berkaitan.
v  Hukum Haram
Ketika membuang air besar atau kecil di tanah lapang tanpa ada dinding penghalang.
v  Hukum Makruh
Membelakangi arah kiblat dalam setiap perbuatan seperti membuang air besar atau kecil dalam keadaan berdinding, tidur menelentang sedang kaki selunjur ke arah kiblat dan sebagainya.




Sumber: Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Kiblat Praktis, Semarang: Walisongo Press, 2010
Mengkompromikan konflik Nash dan Mashlahah dalam Ushul Fiqh

Judul Buku      : PARADIGMA USHUL FIQH Negosiasi Konflik antara Mashlahah dan Nash
Penulis             : Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag
Penerbit           : Pustaka Ilmu, Yogyakarta
Cetakan           : 1, Maret 2013
Tebal Buku      : xiv + 103 halaman
ISBN               : 978-602-7853-17-1

Hukum Islam dalam perkembangannya dituntut untuk selalu dapat merespon problematika hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat dengan mencari jawaban-jawaban yang relevan dan solutif untuk dapat diaplikasikan. Sesuai dengan sifatnya yang shalih li kulli zaman wa makan, maka telah menjadi sebuah kesepakatan di kalangan umat Islam bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber hukum asasi atau sumber dari segala sumber hukum.
Ilmu Ushul Fiqh sebagai kerangka teoritik untuk memahami serta mengambil hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah tentu mempunyai tingkat urgensitas yang lebih dibanding ilmu-ilmu yang lain. Dalam diskursus Ushul fiqh yang bersifat ijtihadi, konflik (ta’arudl) antara mashlahah dan nash dimungkinkan terjadi. Terutama pada era modern seperti saat ini, tentu sangat potensial memunculkan problem ijtihadi yang lebih dilematis dan kompleks, sebab perkembangan zaman akan ditandai dengan semakin beragam dan urgennya tuntutan kemashlahatan manusia untuk dapat diakomodasi oleh nash, sementara nash itu sendiri merupakan sebuah formula yang telah final, sehingga bersifat baku dan konstan.
Misalnya, dinamika kehidupan modern sekarang ini menuntut para wanita tidak hanya menjalankan fungsinya domestik tapi juga fungsi publik, sebagai konsekuensinya, mereka harus berkiprah dalam berbagai sektor kehidupan dan melakukan kontak sosial secara wajar tidak hanya antarsesama kaum wanita tetapi juga kaum laki-laki, padahal tuntutan yang terakhir ini jelas bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an (Q.S. al-Ahzab ayat 53 dan al-Nur ayat 30-31) (hal 4). Oleh karena itu diperlukan upaya pencarian sebuah solusi atas problem ini dengan mendefiniskan kembali esensi konflik antara mashlahah dan nash dan memahami hubungan antara keduanya.
Para teoretisi Ushul Fiqh telah mencoba mencari solusi atas problem tersebut. Pada umumnya mereka terfragmentasi dalam dua tren pemikiran. Satu pemikiran lebih berorientasi kepada nash (text oriented) dan yang lain lebih kepada mashlahah (human need oriented). Tren pemikiran yang pertama dalam menawarkan solusi atas problem di atas lebih mendasarkan validitas nash dan aspek-aspek formalnya dibanding aspek-aspek subtantif nash, sehingga nash itu akan kehilangan subtansinya. Sedangkan tren pemikiran kedua adalah sebaliknya, lebih mendasarkan kepada mashlahah sebagai bagian dari tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) dan cenderung mengabaikan validitas nash, sehingga cenderung mengalami distorsi yang akan muncul dalam bentuk kepentingan subyektif dan hedonistik.
Kehadiran buku ini menawarkan konsep pengambilan keputusan hukum dengan mengintegrasikan kehendak nash dan tuntutan mashlahah. Penulis buku ini memperlihatkan hubungan senyawa antara nash dan mashlahah dalam hubungan inheren, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama yang tidak mungkin dapat dipisahkan satu sama lain. Nash merupakan formula ilahi (devine law) yang diyakini transendental, sedangkan mashlahah merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh nash itu sendiri, sehingga nash dalam hal ini berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan penting pensyariatan hukum Islam.
            Buku yang ditulis oleh Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag adalah langkah revolusioner dalam upaya merekonstruksi pemikiran hukum Islam dengan menawarkan konsep yang lebih subtantif dengan pendekatan kompromistik-non dikotomis dan negoisasi dengan mencoba mempertemukan mashlahah dan nash dalam hubungan sinergis yang diharapkan mampu menghasilkan solusi yang lebih akseptabel yang dapat menjamin dinamika dan relevansi hukum Islam sepanjang zaman.



Diresensi oleh Muhammad Syaifuddin, Penggiat di LPM Zenith CSS MoRA IAIN Walisongo